Langsung ke konten utama

Sejarah Dago

 Sejarah Dago 

https://www.law-justice.co/artikel/50698/dago-kisah-permukiman-elit-eropa-di-zaman-kolonial-tulisan-1/

https://www.law-justice.co/artikel/50698/dago-kisah-permukiman-elit-eropa-di-zaman-kolonial-tulisan-1/


https://www.law-justice.co/artikel/50699/dago-kisah-permukiman-elit-eropa-di-zaman-kolonial-tulisan-2/

https://www.law-justice.co/artikel/50699/dago-kisah-permukiman-elit-eropa-di-zaman-kolonial-tulisan-2/


Dago, Kisah Permukiman Elit Eropa di Zaman Kolonial (Tulisan-1)

Minggu, 26/08/2018 14:01 WIB
facebook sharing button
twitter sharing button
whatsapp sharing button
email sharing button
telegram sharing button

Tampilan Jalan Dago, Bandung masa kini (pariwisatabandung)

Tampilan Jalan Dago, Bandung masa kini (pariwisatabandung)

Bandung, law-justice.co - Dari jalan setapak di tengah hutan belantara, Dago pada zaman kolonial beralih menjadi kawasan permukiman elit Eropa. Kini, wilayah di sisi utara Bandung itu dikenal sebagai zona perdagangan dan jasa.  Setiap pekan para pelancong lokal dan mancanegara kerap memadati setiap jengkal kawasan Dago untuk bermalam, berbelanja, dan bersantap.

Namun tak banyak yang menyangka, mulanya Dago adalah kawasan hutan belantara lebat tak berpenghuni. Pasalnya, Manusia Australopithecus dan Protomelayu  lebih memilih sisi selatan, daripada utara. Alasannya, hutan belantara lebat yang menyelubungi kawasan bagian utara-termasuk daerah Dago- membuat wilayah ini sulit dijangkau.

Kala peradaban moderen bersemi, Dago tetap berstatus hutan perawan. Kawasan ini nyaris tak pernah disebut dalam sumber-sumber tradisional. Keadaan ini tak banyak berubah, termasuk ketika Kesultanan Mataram membentuk Kabupaten Bandung pada akhir abad ke-17 hingga jatuh ke tangan Kompeni pada pertengahan abad ke-18. Dago tetap tidak punya peran strategis.

Topomini Kawasan Dago

Baru belakangan,  muncul tulisan-tulisan yang menyingung ihwal topomini wilayah ini. Saat itu,  di wilayah Dago terdapat jalan setapak. Para petani asal Coblong (Lembang) kerap melewati untuk menjual hasil bumi. Mereka tak punya pilihan lain. Pasalnya jalan setapak  itu merupakan satu-satunya akses menuju pasar yang terletak di pusat kota.

Namun bukan perkara mudah untuk menembus wilayah Dago kala itu. Selain medan yang berat, kawasan ini terbilang sepi. Keamanannya pun tak terjamin. Walhasil para petani kerap mendapat celaka. Entah itu dari binatang buas yang sedang mencari mangsa, atau pun para perampok yang kerap menghadang para pedagang.

Untuk menyiasati keadaan itu, setiap orang yang melewati jalan setapak ini kerap saling menunggu (silih dagoan). Haryoto Kunto (1986) merinci, pagi-pagi buta  para petani itu pergi menuju pasar. Mereka kemudian singgah sejenak di wilayah yang berdekatan dengan terminal dan simpang Dago sekarang.  Di sekitar wilayah itu, mereka akan menunggu para pedagang lainnya. Setelah terkumpul cukup banyak orang, mereka akan berangkat bersama-sama dalam rombongan. Untuk berjaga-jaga,  para pedagang itu kerap mempersenjatai diri dengan sebilah parang dan tombak.

Lebih lanjut Haryoto Kunto  dalam Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986) menyimpulkan, kebiasaan saling menunggu inilah yang kemudian menjadi topomini wilayah ini. Pasalnya, dalam bahasa Sunda, terdapat pula istilah padago-dago yang berarti saling menunggu. Sejak saat itulah kata Dago dipakai untuk menyebut kawasan ini.

Wilayah Strategis

Kehadiran kaum kolonialis Eropa pada pertengahan abad ke-18 membawa angin segar bagi wilayah Dago. Paling tidak sejak saat itu  angka kriminalitas dapat ditekan. Kondisi keamanan di daerah ini pun semakin membaik. Di sekitar kawasan hutan belantara itu pun, muncul sebuah permukiman Bumiputera, bernama Kampung Banong.

Namun, secara keseluruhan Dago tetaplah kawasan sepi dan terpencil pada saat kawasan ini dianeksasi Kompeni. Seperti yang dituturkan Haryoto Kunto (1986), daerah Simpang Dago hingga Kampus Institut Teknologi Bandung, misalnya masih berupa hutan belukar sepi yang jalannya belum bisa dilalui kendaraan.

Rampungnya pembangunan rel kereta api Batavia-Bandung (1884) menjadi momentum awal  perkembangan wilayah ini. Pasalnya selepas itu, menurut Sudarsono Katam (2006), dibangun sebuah jalan yang menghubungkan Krapyak (Dayeuh Kolot)-Sumedang Larang di kawasan Dago. Kelak lajur ini dipakai untuk rupa-rupa kepentingan.

Awalnya, jalan ini dipakai sebagai jalur pengangkutan hasil bumi dari perkebunan di wilayah Bandung Utara ke gudang penyimpanan-sekarang menjadi kantor Walikota Bandung. Jalan ini pun menjadi jalur perlintasan rutin pasukan kavaleri. Rutenya dari Van Houtenweg ( Taman Sari bawah)-Hugensweg (Taman Sari)-Dago (Arya Dipa, 2007) .

Karena lalu lintas  semakin ramai, pada 1906  jalan di sekitar kawasan Dago pun mulai ditata. Arya Dipa (2007) menyebut lajur kiri diperuntukkan bagi kendaraan umum, sementara sisi kanan jalan digunakan sebagai jalur kereta kuda. Selain itu, arah dari dan menuju jalan ini pun diatur. Lajur kiri merupakan jalan yang menuju utara. Sebaliknya, lajur kanan mengarah ke selatan. (bersambung)

(Teguh Vicky Andrew\Editor)



Dago, Kisah Permukiman Elit Eropa di Zaman Kolonial (Tulisan-2)




Dago, Kisah Permukiman Elit Eropa di Zaman Kolonial (Tulisan-2)

Minggu, 26/08/2018 16:01 WIB
facebook sharing button
twitter sharing button
whatsapp sharing button
email sharing button
telegram sharing button
Dago Tea House, Tempat Berkumpul Orang-Orang Belanda di Masa Kolonial (tropen)

Dago Tea House, Tempat Berkumpul Orang-Orang Belanda di Masa Kolonial (tropen)

Bandung, law-justice.co - Terbukanya akses jalan, membuat kawasan Dago semakin ramai. Para pekebun Eropa menjadi kelompok pertama yang meliriknya untuk dijadikan tempat tinggal. Andrees de Wilde merupakan preangerplanter pertama yang mendirikan vila perisitirahatan dan gudang kopi luas (1820) di kawasan Dago (Jalan Dago, 2009).

Memasuki pertengahan dan  akhir abad ke-19, bisnis perkebunan swasta semakin mengeliat di bumi Priangan. Para preangerplanter yang bergelimang harta pun mulai membangun tempat tinggal dan vila di berbagai wilayah yang letaknya tak jauh dari lahan garapan mereka. Berkat usaha Andrees de Wilde Dago pun  menjadi salah satu destinasi favorit.

Seperti para preangerplanter, Pemerintah kolonial pun mulai melirik kawasan Dago sejak awal abad ke-20. Pada 1910, dilakukanlah pembukaan dan pengerasan jalan dari Dago hingga Hutan Pakar. Kebijakan ini terkait dengan rencana pembangunan reservoir (penampungan) air di Bukit Dago.

Wilayah Dago kian strategis, kala pemerintah hendak merealisasikan perluasan  daerah Gemeente Bandung  ke bagian utara. Rencana itu, termaktub dalam Uitbreidingsplan Bandoeng-Noord yang digagas pada 1917. Sejumlah planolog dan arsitek kawakan-di antaranya Thomas Karsten-pun dikumpulkan dalam Stadsvormingcommissie untuk merealisasikan rencana itu.

Hampir satu dasawarsa berlalu, pemerintah Stadgemeente Bandung kembali mendapuk Thomas Karsten dalam proyek perluasan kota yang baru. Bersama Thomas Nix, proyek bertajuk Karsten Plan digagas dan dirancang selama lima tahun (1930-1935). Sayang kala direalisasikan, hanya sebagian kecil saja yang terlaksana. Masalah keuangan menjadi kendala utama.

Uitbreidingsplan Bandoeng-Noord dan Karsten Plan memang tak terealisasi secara maksimal. Namun, Dago termasuk wilayah yang menikmati betul aktualisasi kedua rencana perluasan kota itu. Selama dua dasawarsa inilah kawasan Dago bersolek menjadi wilayah yang  indah dan nyaman. Tentu saja fungsi utama wilayah ini tetap sebagai kawasan permukiman elit Eropa.

Sejak awal, planologi kawasan ini memang diperhatikan betul. Kenyamanan pemukim menjadi prioritas. Prinsip ini terlihat betul dari rasio antara bangunan tempat tinggal dan ruang teterbuka. Sekitar 70 % dari wilayah ini adalah ruang terbuka, sementara hanya 30 % saja yang diperuntukkan sebagai zona pendirian bangunan tempat tinggal.

Konsep Open Western-Bouw diterapkan secara konsisten pada setiap bangunan tempat tinggal. Pengagasnya, Thomas Karsten membayangkan setiap bangunan akan berdiri di sebuah lahan luas yang dikelilingi halaman berumput hijau yang tertata apik. Dengan begitu, para penghuni yang mayoritas orang-orang Eropa tak akan  terpapar udara tropis dan dapat tinggal dengan nyaman.

Sisi artistik bangunan menjadi perhatian preangerplanter.  Mereka menginginkan corak hunian seturut tren arsitektur yang populer di Eropa- Art Deco, Straightline Deco, Nautical Deco, dan  Art Nouveau kala itu. Untuk itu disewalah jasa para arsitektur Nederlands Indie Arsitectuur Krink (NIAK), seperti Maclaine Pont, Schoemaker bersaudara, Gheijsels, dan  Albers.

Namun aturan ketat ihwal planologi di kawasan Dago membuat para arsitektur harus memutar otak. Mereka tak mungkin memindahkan begitu saja bangunan berarsitektur moderen, serupa dengan bangunan-bangunan yang berdiri di Eropa. Sebaliknya, para arsitektur itu harus melakukan berbagai penyesuaian dengan iklim dan lingkungan tropis.

Memodifikasi berbagai bagian bangunan menjadi jalan keluar yang paling logis dan  ideal. Untuk mengantisipasi curah hujan  tinggi, misalnya, atap bangunan didesain curam. Selain itu, tinggi bangunan tak boleh melebihi dua lantai. Pagar nyaris tak dikenal. Batas antar rumah hanyalah tembok rendah, yang memiliki ketinggian maksmial 30 sentimeter.

Eksperimen para arsitektur Eropa itu segera membuahkan hasil. Desain-desain bangunan rancangan mereka pun laku keras. Pesanan demi pesanan deras berdatangan dari kaum elit Eropa. Walhasil, seperti yang dicatat Siregar (1990)  rumah-rumah mewah dan vila-vila megah segera menjadi bangunan yang paling dominan di kawasan Dago.

Keselarasan alam dan para pemukim menjadi inti konsep planologi kawasan Dago. Hal ini terlihat dari penanaman pepohonan besar di kiri-kanan jalan Dago. Tak hanya itu, para pejalan kaki pun diberi jalur khusus. Letaknya di sebelah timur, dari persimpangan Pasar Simpang hingga Cikapayang. Sementara sisi barat merupakan lajur khusus bagi kereta kuda dan sepeda.

Sampai akhir masa kolonial, kawasan Dago dkenal sebagai permukiman termasyur di Hindia-Belanda. Hampir setiap orang Eropa berhasrat tinggal di wilayah ini. Namun, hanya kaum elit Barat yang mampu merealisasikannya. Walaupun terkesan eksklusif, harus diakui Dago merupakan magnet yang mampu menarik lebih banyak orang untuk datang, singgah, dan tinggal di Bandung. (tamat)

(Teguh Vicky Andrew\Editor)

Share:
facebook sharing button
twitter sharing button
whatsapp sharing button
email sharing button
telegram sharing button
Tags:




BERITA TERKAIT

Komentar

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sentra Gula Dago