Sejarah Dago
Sejarah Dago
https://www.law-justice.co/artikel/50698/dago-kisah-permukiman-elit-eropa-di-zaman-kolonial-tulisan-1/
https://www.law-justice.co/artikel/50699/dago-kisah-permukiman-elit-eropa-di-zaman-kolonial-tulisan-2/
Dago, Kisah Permukiman Elit Eropa di Zaman Kolonial (Tulisan-1)
Tampilan Jalan Dago, Bandung masa kini (pariwisatabandung)
Bandung, law-justice.co - Dari jalan setapak di tengah hutan belantara, Dago pada zaman kolonial beralih menjadi kawasan permukiman elit Eropa. Kini, wilayah di sisi utara Bandung itu dikenal sebagai zona perdagangan dan jasa. Setiap pekan para pelancong lokal dan mancanegara kerap memadati setiap jengkal kawasan Dago untuk bermalam, berbelanja, dan bersantap.
Namun tak banyak yang menyangka, mulanya Dago adalah kawasan hutan belantara lebat tak berpenghuni. Pasalnya, Manusia Australopithecus dan Protomelayu lebih memilih sisi selatan, daripada utara. Alasannya, hutan belantara lebat yang menyelubungi kawasan bagian utara-termasuk daerah Dago- membuat wilayah ini sulit dijangkau.
Kala peradaban moderen bersemi, Dago tetap berstatus hutan perawan. Kawasan ini nyaris tak pernah disebut dalam sumber-sumber tradisional. Keadaan ini tak banyak berubah, termasuk ketika Kesultanan Mataram membentuk Kabupaten Bandung pada akhir abad ke-17 hingga jatuh ke tangan Kompeni pada pertengahan abad ke-18. Dago tetap tidak punya peran strategis.
Topomini Kawasan Dago
Baru belakangan, muncul tulisan-tulisan yang menyingung ihwal topomini wilayah ini. Saat itu, di wilayah Dago terdapat jalan setapak. Para petani asal Coblong (Lembang) kerap melewati untuk menjual hasil bumi. Mereka tak punya pilihan lain. Pasalnya jalan setapak itu merupakan satu-satunya akses menuju pasar yang terletak di pusat kota.
Namun bukan perkara mudah untuk menembus wilayah Dago kala itu. Selain medan yang berat, kawasan ini terbilang sepi. Keamanannya pun tak terjamin. Walhasil para petani kerap mendapat celaka. Entah itu dari binatang buas yang sedang mencari mangsa, atau pun para perampok yang kerap menghadang para pedagang.
Untuk menyiasati keadaan itu, setiap orang yang melewati jalan setapak ini kerap saling menunggu (silih dagoan). Haryoto Kunto (1986) merinci, pagi-pagi buta para petani itu pergi menuju pasar. Mereka kemudian singgah sejenak di wilayah yang berdekatan dengan terminal dan simpang Dago sekarang. Di sekitar wilayah itu, mereka akan menunggu para pedagang lainnya. Setelah terkumpul cukup banyak orang, mereka akan berangkat bersama-sama dalam rombongan. Untuk berjaga-jaga, para pedagang itu kerap mempersenjatai diri dengan sebilah parang dan tombak.
Lebih lanjut Haryoto Kunto dalam Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986) menyimpulkan, kebiasaan saling menunggu inilah yang kemudian menjadi topomini wilayah ini. Pasalnya, dalam bahasa Sunda, terdapat pula istilah padago-dago yang berarti saling menunggu. Sejak saat itulah kata Dago dipakai untuk menyebut kawasan ini.
Wilayah Strategis
Kehadiran kaum kolonialis Eropa pada pertengahan abad ke-18 membawa angin segar bagi wilayah Dago. Paling tidak sejak saat itu angka kriminalitas dapat ditekan. Kondisi keamanan di daerah ini pun semakin membaik. Di sekitar kawasan hutan belantara itu pun, muncul sebuah permukiman Bumiputera, bernama Kampung Banong.
Namun, secara keseluruhan Dago tetaplah kawasan sepi dan terpencil pada saat kawasan ini dianeksasi Kompeni. Seperti yang dituturkan Haryoto Kunto (1986), daerah Simpang Dago hingga Kampus Institut Teknologi Bandung, misalnya masih berupa hutan belukar sepi yang jalannya belum bisa dilalui kendaraan.
Rampungnya pembangunan rel kereta api Batavia-Bandung (1884) menjadi momentum awal perkembangan wilayah ini. Pasalnya selepas itu, menurut Sudarsono Katam (2006), dibangun sebuah jalan yang menghubungkan Krapyak (Dayeuh Kolot)-Sumedang Larang di kawasan Dago. Kelak lajur ini dipakai untuk rupa-rupa kepentingan.
Awalnya, jalan ini dipakai sebagai jalur pengangkutan hasil bumi dari perkebunan di wilayah Bandung Utara ke gudang penyimpanan-sekarang menjadi kantor Walikota Bandung. Jalan ini pun menjadi jalur perlintasan rutin pasukan kavaleri. Rutenya dari Van Houtenweg ( Taman Sari bawah)-Hugensweg (Taman Sari)-Dago (Arya Dipa, 2007) .
Karena lalu lintas semakin ramai, pada 1906 jalan di sekitar kawasan Dago pun mulai ditata. Arya Dipa (2007) menyebut lajur kiri diperuntukkan bagi kendaraan umum, sementara sisi kanan jalan digunakan sebagai jalur kereta kuda. Selain itu, arah dari dan menuju jalan ini pun diatur. Lajur kiri merupakan jalan yang menuju utara. Sebaliknya, lajur kanan mengarah ke selatan. (bersambung)
Dago, Kisah Permukiman Elit Eropa di Zaman Kolonial (Tulisan-2)
Komentar